Jihadul Amry/ Mahasiswa Fakultas Hukum UNISMA
Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan dengan tujuan membentuk kesatuan masyarakat terkecil, (Abdulkadir Muhammad, 2014 dalam bukunya yang berjudul "Hukum Perdata Indonesia").
Malang, LAPMI - Kesatuan masyarakat terkecil adalah adanya kesatuan individu-individu yang hidup dalam suatu kesatuan interaksi yang tidak dapat terpisahkan, yang terdiri antara suami, istri, dan anak-anaknya. Menurut paradigma Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan pada ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dari perspektif yang digambarkan dalam undang-undang a quo, setidaknya ada 4 unsur yang dapat kita jadikan pondasi untuk mendeskripsikan perkawinan, yakni ikatan lahir batin, antara pria dan wanita, sebagai suami dan istri, dan dengan tujuan. Berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Udang Hukum Perdata yang hanya menyebutkan perkawinan sebagi suatu hubungan keperdataan, dengan bahasa kasar dapat disebut sebagai suatu hubungan yang dapat dipersamakan dengan hubungan sesorang dalam perbuatan jual beli ataupun yang lainnya sebagaiman diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata buku ke III tentang Perikatan.
Sejarahnya, hukum tentang perkawinan di Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Indonesia masih menggunakan ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai dasar rujukan dalam melangsungkan perkawinan. Barulah pada tanggal 2 Januari 1974, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan. Dengan disahkan undang-undang a quo, maka segala ketentuan yang mengatur tentang perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dicabut, sebagaimana amanat asas lex posterior derogate legi priori. Perubahan ketentuan hukum ini tentunya didasarkan pada pertimbangan bahwa hukum yang lalu tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Indonesia baik secara historis maupun sosiologis.
Dari perubahan yang dilakukan terhadap hukum tentang perkawinan tersebut, penulis ingin membahas satu isu sederhana yang secara serta merta kita tidak sadari. Isu yang dimaksud oleh penulis adalah berkaitan dengan asas dalam hukum perkawinan yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hukum perkawinan yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Perdata menganut asas perkawinan monogami mutlak. Monogami mutlak yang dimaksud adalah satu orang laki-laki hanya diijinkan untuk kawin dengan satu orang perempuan, begitupun sebaliknya. Hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, bahwa pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja. Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pun tidak ditemukan alasan pengecualian atas perkawinan yang demikian itu. Secara sederhana dapat dipahami bahwa dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata melarang keras adanya perbuatan poligami dan tidak ada jalan baginya, kendatipun didalamnya pula mengartikan perkawinan hanya sebagai perbuatan sederhana yang dipersamakan dengan hubungan individu dengan individu dalam sebuah perjanjian.
Berbeda halnya dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni asas monogami nisbi. Secara sederhana asas ini menurut pandangan Abdulkadir Muhammad dapat dipahami bahwa walaupun pada asasnya perkawinan itu adalah monogami, suami masih dimungkinkan untuk melakukan perkawinan kembali dengan wanita lain, dengan ketentuan dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini menandakan adanya kemungkinan bagi seorang suami untuk melakukan perbuatan poligami (beristri lebih dari satu), namun hal serupa tidak diperkenankan bagi seorang istri. Walaupun demikian, seorang suami yang ingin melangsungkan perkawinan dengan istri kedua dan seterusnya tersebut harus memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditentukan dalam undang-undang yang bersangkutan.Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah menetapkan alasan yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang akan melaksanakan perkawinan dengan wanita lain sementara dia terikat perkawinan dengan seorang wanita lainnya (poligami), diantaranya adalah, (1). Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, (2). Istri mendapat cacat badan atau penyakit tidak dapat disembuhkan, dan/atau (3). Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdulkadir Muhammad alasan-alasan yang disebutkan tersebut bersifat alternatif, artinya hanya perlu dipenuhi salah satunya saja. Walau demikian, dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan syarat kumulatif bagi suami yang ingin melakukan poligami (monogami nisbi), diantaranya adalah (1). Adanya persetujuan dari istri/istri-istri, (2). Adanya kepastian bahwa ia mampu menjamin penghidupan istri-istri dan anak-anaknya, (3). Adanya kepastian bahwa ia sebagai suami dan kepala keluarga mampu berbuat adil.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa poligami (monogami nisbi) di Indonesia mulai berlaku seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal poligami (monogami mutlak). Jika kita melihat dalam kerangka atau sudut pandang alasan mendasar perubahan suatu hukum, yakni telah disebutkan bahwa apabila dikehendaki perubahan hukum dapat dilaksanakan karena adanya perubahan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan hukum harus mengikuti hal tersebut sebagai bentuk kehadiran hukum untuk melayani masyarakat agar terwujudnya kedamaian. Dalam bahasa sederhana dapat dipahami bahwa poligami (monogami nisbi) hadir sebagai permintaan masyarakat Indonesia, karena nilai-nilai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perkawinan (monogami mutlak) dirasa tidak lagi sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Penulis: Jihadul Amry
Editor: Reny Tiarantika
Komentar
Posting Komentar