![]() |
Jihadul Amry/ Direktur Bidang Penelitian dan Pengembangan LAPMI Malang |
Malang, LAPMI - Perkembangan hukum pemilu Indonesia diera reformasi tergambar dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan beberapa undang-undang pemilu berikutnya yang apabila dipetakan dapat menunjukkan fase-fase perkembangan sistem penegakan hukum Pemilu. Berikut diuraikan fase-fase perkembangan hukum pemilu:
Fase Pertama, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, yang merupakan undang-undang pemilu pertama di era reformasi, mulai muncul norma pengaturan tentang sengketa pemilu (Pasal 26), pelanggaran dan sanksi administratif terkait dengan dana kampanye (Pasal 49), serta pengaturan tentang bentuk tindak pidana pemilu yang diatur ke dalam 2 pasal dan terdiri atas 14 ayat (Pasal 72 dan 73). Pada aspek kelembagaan pengawasan dan penegakan hukum pemilu, undang-undang ini juga mengubah desain kelembagaan pengawasan pemilu menjadi beranggotakan unsur masyarakat dan perguruan tinggi yang diangkat oleh Lembaga Peradilan (Pasal 24). Lembaga pengawas pemilu yang bersifat ad-hoc ini juga bertugas untuk menangani pelanggaran dan menyelesaikan sengketa dan perselisihan pemilu, dan dapat meneruskannya ke instansi penegak hukum jika tidak mampu menyelesaiannya (Pasal 26).
Fase Kedua, melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi dasar pijakan hukum penyelenggaraan pemilu tahun 2004, norma pengaturan tentang sistem penegakan hukum pemilu mengalami beberapa perubahan. Undang-undang ini mulai menambah pengaturan tentang ancaman pidana bagi pelanggaran kampanye (yang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, atas pelanggaran larangan dalam kampanye hanya diancam tindakan berupa pembubaran kegiatan kampanye) sebagaimana diatur dalam pasal 76 ayat (1). Undang-undang ini juga memperbanyak ragam bentuk sanksi atas pelanggaran administrasi (Pasal 76 ayat (2), (4), Pasal 77 ayat (2)) dimana penjatuhan sanksinya dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada aspek kelembagaan, undang-undang ini mengubah desain kelembagaan pengawas pemilu menjadi kelembagaan yang dibentuk oleh KPU (pasal 120), dengan unsur keanggotaan yang terdiri atas unsur kepolisian negara, kejaksaan, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan pers (Pasal 124). Salah satu perubahan fundamental yang dibawa oleh kedua undang-undang ini adalah dimulainya pengaturan khusus tentang hukum acara dalam penegakan hukum pemilu dengan menganut prinsip speedy-trial meskipun secara umum masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acata Pidana (KUHAP) (Pasal 131-133), serta pembedaaan antara sengketa pemilu dengan sengketa hasil pemilu, dimana sengketa hasil pemilu ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 134). Sedangkan norma pengaturan terkait ancaman pidana juga mengalami pemekaran menjadi menjadi 4 pasal yang terdiri atas 26 ayat (Pasal 137-140).
Fase Ketiga, melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terjadi perkembangan norma pengaturan tentang sistem penegakan hukum pemilu. Tugas pengawasan pemilu yang diemban oleh Panitia Pengawas diatur secara spesifik mencakup pula pengawasan terhadap kinerja KPU, misalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 18. Perluasan obyek pengawasan ini merupakan sebagai implikasi dari perdebatan hukum yang muncul pada pemilu 2004 tentang apakah Panwaslu berwenang mengawasi kinerja KPU. Masih terkait dengan aspek kelembagaan pengawas pemilu, undang-undang ini juga meningkatkan sifat kelembagaan pengawas pemilu di tingkat pusat menjadi permanen dalam bentuk badan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan pada tingkat dibawahnya tetap bersifat ad-hoc. Namun demikian, unsur keanggotaannya diubah dengan menghilangkan unsur dari Kepolisian dan Kejaksaan. Undang-undang ini juga memperluas cakupan pelanggaran administrasi dengan menambahkan ketentuan tentang pelanggaran kampanye melalui media penyiaran, dan memberikan wewenang kepada Komisi Penyiaran dan Dewan pers untuk melakukan penegakan hukum (Pasal 89-100). Di samping itu, undang-undang ini juga mulai memperkenalkan pengaturan tentang kode etik penyelenggara pemilu, memberi mandat kepada KPU dan Bawaslu untuk menyusunnya. Undang-undang ini juga memperjelas pengertian tentang pelanggaran administrasi pemilu yang sebelumnya masih bersifat samar (Pasal 248), dan memberikan wewenang kepada KPU untuk memeriksa dan memutusnya (Pasal 250). Sedangkan pada aspek pidana pemilu, mulai mengatur secara lebih terperinci hukum acara pidana pemilu (pasal 253- 257), sehingga menjadi semakin kuat sifat lex-specialisnya. Adapun norma pengaturan tentang ketentuan pidana pemilu berkembang secara signifikan dengan jumlah pasal yang mengaturnya menjadi 51 pasal (pasal 260-311).
Fase Keempat, pada fase ini, terjadi perubahan signifikan dalam kerangka hukum pemilu, dimana norma pengaturan tentang penyelenggara pemilu dipisahkan dari undang-undang pemilu. Kelembagaan penyelenggara pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, dan didalamnya mulai memperkenalkan pembentukan lembaga baru yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) sebagai lembaga penegakan kode etik penyelenggara pemilu. Sifat kelembagaan pengawas pemilu ditingkatkan menjadi permanen di tingkat provinsi. Prosedur penegakan hukum terhadap pelanggaran administrasi pemilu diubah, dimana pengawas pemilu melakukan pemeriksaan dan menghasilkan rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh KPU, namun KPU masih teap melakukan pemeriksaan dan memutus terkait rekomendasi dari pengawas pemilu (Pasal 254-256 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Undang-undang ini juga mulai memperkenalkan kelembagaan Majelis Khusus Tindak Pidana Pemilu (Pasal 266), kelembagaan Sentra Gakkumdu (Pasal 267), serta sengketa Tata Usaha Negara Pemilu sebagai jenis baru sengketa pemilu terkait dengan Keputusan yang dikeluarkan oleh KPU (Pasal 268-270). Sedangkan norma pengaturan tentang tindak pidana pemilu kembali berubah menjadi 48 pasal (Pasal 273-321).
Fase Kelima, merupakan perkembangan yang terjadi pada pemilu terkini yakni pemilu 2019 dimana dasar pengaturan hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Undang-undang ini menyatukan norma pengaturan terkait pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta kelembagaan penyelenggara pemilu. Pada aspek kelembagaan penegakan hukum pemilu, kelembagaan pengawas pemilu diperkuat sifatnya menjadi permanen hingga tingkat kabupaten/kota (pasal 89 ayat (4)), kewenangannya dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu juga diperkuat dari sebelumnya hanya menghasilkan rekomendasi kepada KPU meningkat hingga memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi (Pasal 95 huruf b). UU ini juga memperkenalkan pengaturan tentang pelanggaran administrasi yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (Pasal 463). Adapun norma pengaturan tentang bentuk-bentuk tindak pidana pemilu kembali mengalami kenaikan menjadi 66 pasal (Pasal 488-554).
Komentar
Posting Komentar