Malang, LAPMI - Desa Pulau Raman adalah desa yang terletak
di Kabupaten Batanghari, Provinsi Bengkulu. Penduduk yang mendiami wilayah
tersebut berkisar 1.537 jiwa. Pada umumnya penduduk desa bekerja sebagai petani
karet dan buruh harian. Apakah tidak sama dengan desa lain? Ya, sama, hanya
saja 70% perempuan disana menikah sebelum usia 19 tahun. Angka pernikahan usia
anak di Jambi sampai 14,8% di atas rata-rata angka pernikahan nasional yakni
10,82%.
Seperti Lia (23) contohnya, salah satu
warga yang memutuskan untuk menikah di usia yang masih sangat muda. "Saya
nikah di umur 16 tahun karena orang tua tidak mampu untuk menyekolahkan saya.
Lebih baik kami menikah, pernikahan itu pun keinginan saya sendiri karena orang
tua kami tidak mampu. Tempat sekolah kami sangat jauh, susah bagi saya untuk
sekolah. Saya masuk SD dan sampai kelas 3 saja, setelah itu saya tidak mampu
lagi untuk sekolah. Dulu, ya pingin sekolah itu pun karena ekonomi tidak
mampu" ujar ibu satu anak itu. Selain itu ia juga menjelaskan bahwa mata
pencaharian orang tua Lia tidak menentu, terkadang mencari ikan itupun kadang
dapat kadang tidak, memotong karet pun kadang dibayar murah sehingga susah
untuk menyekolahkannya. Namun sebagai gantinya kini Lia terus berusaha untuk
masa depan anaknya. Ia berharap anak-anaknya di masa depan nasibnya tidak
seperti dia.
Selanjutnya ada Erna, perempuan 23 tahun
yang memutuskan untuk menjadi singel parent karena menjadi korban KDRT.
"Saya di tampar, diterjang. Awalnya tidak ada yang tahu kalau saya di gitu
kan. Dia (suami) begitu kalau cuma pas berdua". Selain itu, dia juga
mengungkapkan bahwa dia merasa tidak
bebas setelah menikah. "Saya kaget pas menikah. Jadi nggak bisa
kemana-mana, harus ngurusin suami, sedangkan hati inginnya main sama
temen-temen. Temen-temen saya main tapi saya kok di rumah" ujarnya. Ia
juga menjelaskan bahwa pernikahannya hanya berjalan 1 bulan.
Lia dan Erna adalah contoh yang
menggerakkan Zubaidah untuk mendirikan beranda perempuan, komunitas yang
menaruh perhatian isu-isu kekerasan seksual berbasis gender dan hak-hak
perempuan. Bersama para relawan ia memberi pendampingan pada korban kekerasan
perempuan dan memberi edukasi pencegahan pernikahan anak-anak usia dini. "Ini (Pernikahan usia anak) itu sebuah persoalan yang mengakar ya, kalau tidak
kita ubah tujuh keturunan di desa Pulau Raman ini akan seperti ini terus"
ujar Zubaidah.
Diantara dampak negatif yang timbul karena pernikahan usia anak adalah resiko kematian ibu dan bayi dan juga peningkatan KDRT. Tingginya kasus pernikahan anak menempatkan Indonesia di urutan ke-8 dengan usia pernikahan dini yang tinggi dan peringkat ke-2 di ASEAN.
Di masa pandemi permohonan dispensasi bagi anak untuk menikah pun meningkat, hampir 97% dikabulkan oleh pemerintah. "Kasus perkawinan anak usia ini kan harus melihat banyak faktor ya, ada faktor kemiskinan. Sebenarnya juga faktor budaya, karena dalam masyarakat kita, dalam masyarakat yang masih menganut budaya patriarki dimana anak perempuan itu dianggap sebagai milik keluarga sehingga keluargalah yang menentukan dengan siapa, kapan mereka menikah. Anak perempuan tidak punya suara menentukan kapan dia menikah orang tua lah yang menentukannya." Zubaidah juga menambahkan bahwa ironisnya pemerintah seringkali melakukan dispensasi dengan menaikkan usia anak dan kemudian hal itu menjadi persoalan yang kompleks.
Penulis: Imama Haura
Editor: Reny Tiarantika
Komentar
Posting Komentar