Malang, LAPMI - Malapetaka
apa lagi ini Tuhan? nama ku Rindu, perempuan yang menjual harga diri tapi
martabat aku junjung tinggi dan catat bukan sembarang orang aku temani. Aku
lahir sebatang kara tidak mengenal siapa orang tuaku, dulu pernah di ceritakan
oleh pengasuh bahwa aku menangis didepan rumah yatim pada jam 02:15 WIB
menjelang subuh hanya baju dan celana yang ku punya tidak ada apa-apa selain
itu dan dari situ aku akan memulai cerita ini, mungkin akan lebih banyak aku
singgung kata yang kurang sopan dengan itu aku meminta maaf pada pembaca
tulisan ini.
Tiga
jam setelah kejadian aku mulai dirawat, dibilas dan diberikan susu yang
sebenarnya dengan umurku yang dini belum bisa menikmati susu dengan lebel
khusus bayi, karena umurku waktu itu baru 1 bulan yang seharusnya aku harus
menikmati asi dari ibuku yaaa walau demikian aku masih tetap menangis histeris, sekerasa apapun juang
pengasuh baruku akan lebih nikmat bila hanya dipeluk oleh ibu, tapi apa daya
anak sebatag kara mengharapkan kasih dan sayang dari ibu seperti buih di lautan
yang tak terhitung sampai akhir zaman kemustahilan yang sungguh mustahil
terjadi.
10
tahun berlalu kejadian itu terulang kembali aku menangis sejadi-jadinya aku
akan di asuh oleh orang baru lagi, walau aku tidak tahu apa maksud dari mereka
entah baik atau buruk firasatku tetap harap harap cemas dengan pengasuh baruku
nanti, aku enggan dengan orang baru lagi lebih baik aku berdikari dari pada
dikekang sampai mati. Waktu kesepakatan sudah hampir selesai aku sebentar lagi
meninggalkan orang-orang yang merawatku, membesarkanku dan mencintaiku. Kesepakatan
antara kedua belah pihak entah yang diuntungkan pihak pertama atau pihak kedua
sama saja bagiku karena aku tidak dilibatkan dalam kesepakatan itu, kesepakatan
yang tidak melibatkan orang yang akan di asuh adalah kebaikan yang tertunda. Aku
berontak menangis sejadi–jadinya meluapkan segala emosi sedari 10 tahun yang
lalu aku simpan baik baik dalam hati, tapi sayang upaya itu gagal karena
sekejap aku terlelep meratapi dinginya ac mobil pengasuh baruku.
Sesampai
dirumah aku terbangun, melihat rumah didepan mata tidak seperti cerita pengasuh
saat berdongeng didepan aku dan teman-teman yang lain, tapi aku bisa apa? hanya
bisa menyimpan khayalan menikmati fasilitas lebih, mobil yang kita tumpangi
ternyata bukan milik sendiri bagaimana tidak rumah dengan lebar 4 meter2 bisa
punya mobil sendiri, untuk bagasi saja tidak cukup apalagi untuk memiliki.
Perempuan yang ada disebelah kananku meminta agar aku memaggilnya mama,
cirikhas orang pinggiran berusaha menjadi orang kota (an) dan lelaki tinggi
semampan yang menyetir saat kami pulang aku diminta memanggilnya bapak. Masuk
ke dalam rumah sempit membuat otak terhempit nafas terengah-engah dengan lantai
beralaskan tanah, baju, celana, pakain dalam ada dimana-mana berentakkan ya
Allah ekspetsi jauh dari realita sugnguh ini nyata bukan hanya ada dalam
fantasiku saja. Aku kaku menginjakkan kaki dilantai tapi apa boleh buat rumah
baru yang harus ditempati aku yang mungil dengan orangtua baruku yang
senantiasa akan selalu ada disampingku, aku akan terima ini dengan lapang
kareana mungkin ini adalah cobaan yang kesekian kali. Rasa tak percaya
sebenarnya ada, ahhh mungkin hanya permainan mereka agar aku tetap sabar dengan
kondisi dunia yang semakin hari semakin fana.
3
sampai 4 bulan berlalu ternyata tetap sama, aku mulai adaptif dengan kondisi
lingkungan baru yang semula aku merasa ada grean
disign di balik ini semua ternyata hanya fatamorgana. Lagi, lagi dan lagi
yang kesian kali aku merasa bahwa Tuhan itu tidak adil tidak pernah mau
mendengarkan setiap untain kata dengan penuh hikmad aku lantunkan, mengapa
takdir begitu kejam? anak seusiaku saja merasa ketidakadilan dari Tuhan apalagi
orang-orang diatasku sungguh pilu bagi mereka yang tidak mampu bertahan. Dengan
frasa apalagi ini Tuhan? kejam dunia kusaat ini tapi aku rasa dari pertama aku
lahir di muka bumi sampai pada detik ini tidak pernah aku merasakan kenikmatan
hidup, kasih sayang dari orang tua dan aapun yang membuat manusia normal
tersenyum tidak pernah singgah sekalipun dalam benatku apalagi nyata. Tuhan
!!!!!!!!! hamba sudah menyerah, ambil kembali hamba mu ini wahai Tuhan lebih
baik hidup di pangkuanmu dari pada menderita begini walau dalam qalam tersuratkan
Engkau lebih dekat dari urat nadi tapi dengan umurku demikian apakah mampu
melihat yang tersirat?
Waktu
berlalu begitu cepat bukan karena aku menkmati lingkungan sekitar yang memaksa
aku untuk adaptif melainkan karena keterpaksaan, pagi berangkat sore baru
bertemu dan malam terlelap. Sejauh kaki melangkah mata menatap semua
disekeliling dengan gedung gedung tinggi teramat tinggi mungkin dongeng raksasa
pada tempo dulu tidak akan bisa menggapai dengan mudah kami yang kerdil seperti
ini kapan baru bisa menkmati fasilitas itu, apakah karena kami kerdil dan
mereka raksasanya? dan hanya raksasa saja yang mampu menikmati itu? Ahh
sudahlah kamu jalan saja seperti itu kamu akan jadi raksasa yaaa walau bagi
dirimu saja, karena untuk orang lain itu sangatlah mustahil walau tangisanmu
sekreras petir dan air mata yang turun dari mata seperti hujan takaakan mampu
untuk mematahkan kaki raksasa dan mendenger apa yang menjadi kepedihanku.
Sekejap aku berhenti karena mentari terlalu ganas, aku melihat 2 orang sedeng
asyik bicara, pembicaraan yang amat serius mereka bertengkar ide bahwa tanah
diujung tempat tinggalku akan di reklamasi dan rumah kita akan tergusur. Aku
berpikir sejenak kejadian itu, kepalaku mulai berbintang-bintang, muncul banyak
pertanyaan dikepalaku apakah mungkin rumahku termaksud yangakan di reklamasi
itu? Tapi itu mungin terlalu jauh, apa sebenarnya reklamasi? Apakah itu semacam
taman bermain untuk anak-anak? Atau tempat tinggal baru bagi aku dan
orangtuaku? Aku sedikit tersenyum bila itu terjadi, bisa bermain dengan aneka
permainan, rumah baru dan lingkungan baru. Melanjutkan pembicaraannya, kedua
orang itu seketika berhenti dan meneteskan air mata, aku memberanikkan diri
untuk bertanya, kenepa dengan pembicaraan sendiri bapak berdua sampai bersedih
dan meneteskan air mata? Dengan nada sedikit rendah dan membilas air mata yang
jatuh salah satu dari mereka menjawab, “Nak suatu hari nanti kamu akan mengerti
apa maksud dari air mata kami ini” dengan kalimat penutup itu aku kebingungan
mereka melangkah pergi aku menatap sampai tidak nampak lagi kedua orang tua itu
mereka berpisah di lorong dekat mushola tempat peribadatan orang-orang
kampungku dan seketika aku berada di rumah.
Ma,
kenapa dengan saya? “kamu pingsan nak jawab mamaku”
Penulis:
M. Agus Prawoto
Editor:
Reny Tiarantika
Komentar
Posting Komentar