Malang, LAPMI - Hasil dari
perdebatan mengenai teori-teori klasik pada awal abad ke-20 akhirnya kita
saksikan pada awal abad ke-21. Itulah yang kita sebut disruption. Dunia bergeser dari destruction
ke self-disruption atau disruptive innovation.
Pada permulaan abad ke-20, dunia
menyakska dialektika antara dua isme besar: Kapitalisme versus Marxisme.
Keduanya sama-sama menjelma sebagai ideologi, sistem politik, dan konsep
pembangunan ekonomi. Dan keduanya sama-sama meramalkan kehancuran bagi
pihak-pihak lainnya. Pertempuran antara kedua isme itu sudah cukup menimbulkan
banyak penderitaan bagi umat manusia melalui perang dingin. Para penganut
marxisme meramalkan bahwa kapitalisme akan mencapai puncaknya, lalu berakhir.
Demikian pula para penganut kapitalisme meramalkan kehancuran marxisme.
Ketika terjadi depresi ekonomi
pada awal abad ke-20, para pendukung marxisme beranggapan kapitalisme telah
berakhir. Namun di luar dugaan, muncul ekonom-ekonom neoklasikal yang terus
memperbaiki pandangan kapitalisme dengan mengedepankan menaisme pasar yang
terkelola (managerial capitalism). Ketika
ekonomi membaik dan stabil, paham-paham yang lebih liberal mengisi pertempuran
ekonomi pada akhir abad ke-20 dengan peran negara yang seminimal mungkin. Ketika
“kegagalan pasar” terjadi (biasanya karena ada pelaku yang dominan dan mengatur
pasar), barulah negara mengintervensi dengan kebijakan-kebijakan yang ketat.
Dunia pun terpecah menjadi dua
kelompok. Yang satu adalah blok pasar yang dipimpin oleh negara-negara industri
(Barat) yang mayoritasnya adalah pro kapitalisme dan di satu sisi ada kelompok
Blok Timur dengan peran negara yang sentralistis, perencanaan ekonomi yang
dominan dengan ideologi komunis atau sosialisme. Tentu saja di antara keduanya
selalu ditemui sistem yang abu-abu dan
malu-malu, atau sistem gabungan yang mencoba untuk memadukan keduanya.
Blok barat yang terbuka dengan
sistem pasar mengalami ujian mata uang, krisis, dan resesi tapi mengalami
kebangkitan. Blok Timur yang tertutup, sebaliknya bergerak statis, tetapi tak
banyak mengalami guncangan. Namun, pada 1979, sejalan dengan robohnya tembok
Berlin, dunia mulai melihat hancurnya komunisme dan Blok Timur memasuki era
kehancuran yang serius.
Sejak saat itu, baik Uni Soviet maupun China mulai terbuka dan mengadopsi kapitalisme dengan sistem pasar dengan negara yang sentralistis dan dispilin yang kuat. Semuanya mempercepat dan dipercepat ileh gelombang globalisasi. Namun, selalu ada yang abu-abu, misalnya dengan menyebut ideologinya sebagai “mekanisme pasar yang dipimpin oleh sosialisme”. Kita pun menyaksikan isme-isme menjadi kompleks dari penuh warna. Bagaimana hubungan antara jatuh-bangunya kapitalisme dan kehancuran marxisme? Bagaimana hubgungan keduanya dengan teori disruptive innovation?
Krisis demi krisis yang dialami negara-negara penganut kapitalisme diapndang oleh ekonom-ekonom Joseph Schumpter (1893-1950) sebagai metode penyembuhan atau penemuan kembali. Ibarat seekor ular yang berganti kulit atau burung rajawali tua yang kesakitan berjuang memutus paruh tuanya yang sudah membengkok agar bisa berburu dan muda kembali, kapitalisme pun mengalami masa-masa yang menyakitkan melalu berbgai krisis ekonomi yang mengujinya.
Hal ini tergantung sulit
diterima para pendukung marxisme. Marx (1818-1883) sendiri menganggap proses
penyembuhan diri kapilisme sebagai suatu kontradiksi dan penyembuhan suatu
utopia. Sedangkan Schumpter menangkap gejala itu sebagai badai abadi. Peran
perusak atau pembuat badai- sekaligus penyembuh krisis- ada ditangan orang yang
disebutnya wirausaha. Hal ini akan terus berlangsung sepanjang abad, yang
menjadikannya badai abadi.
Wirausaha (enterpreneur) adalah kepanjangan tanga kapitalisme, yang selalu
datang secara bergantian sesuai zaman dengan cara masing-masing. Mereka adalah
orang yang kreatif yang berani mengambil resiko. Karena kreativitasnya,
wirausaha berpotensi menghancurkan temuan-temuan atau bisnis-bisnis yang telah
memasuki usia penuaan dengan cara-cara baru. Itulah creative destruction (Wooldridge, A,2015).
Schumpter adalah yang pertama
menyebut peran wirausaha kini kita kenal. Setelah dilanda depresi besar (bahkan
setelah perang dunia berakhir), para ekonom lebih tertarik kepada managed capitalism dengan pilar-pilarnya
berupa buruh dan serikat pekerja, para manajer, dan pengelolaan organisasi
besar yang dikenal sebagai birokrasi (Wooldridge, 2015). Mereka percaya pada
konsep penyatuan organisasi besar (Integrasi, vertikal dan horizontal),
produksi dan distribusi massal untuk mencapai efisiensi, standar, dan skala
ekonomis. Hal ini mengakibatkan munculnya perusahaan-perusahaan besar,
organisasi-organisasi serikat kerja (labor
union) besar, mesin-mesin besar, mass distribution, mass communication, mass production dan mass marketing pada
masa-masa itu (pasca perang dunia ke-2.
Mereka semua itu kurang percaya
pada satu orang yang disebut Schumpter disebut sebagai wirausaha. Bagi mereka,
satu orang yang hebat sekalipun tidak akan bisa membuat besi-besi tebal dan
materi ringan lainnya terbang ke bulan menjadi pesawat antariksa, bahkan
pesawat terbang. Diperlukan sebuah organisasi besar yang dipimpin oleh manajer
dan supervisor, sedangkan dalam konteks negara dikelola oleh birokrasi dalam
manajemen birokrasi.
Namun, Schumpter di sisi lain
melihat bahwa kapitalisme hanya bisa bertahan karena adanya inovasi. Inovasi
ini terus menerus yang berkelanjutan itulah yang membuat sebuah perusahaan
hidup kembali, menjadi besar atau mati. Inovasi itulah yang menciptakan
keunggulan daya saing, yang selalu membedakan yang satu dengan lainnya, atau
bahkan bisa memtakikan lainnya.
Penulis: Abimanyu Iqbal Soesanto
Editor: Bagus Satria P.
Komentar
Posting Komentar