Gambar: Tirto.id
Malang, LAPMI - Sudah tidak terasa Indonesia telah merdeka sejak 1945 lalu hingga saat ini mencapai umur 76 Tahun. Tanpa diduga Indonesia akan memproklamasikan kemerdekaan di tanggal 17 Agustus 1945. Semuanya terjadi begitu cepat. Desakan dari para golongan pemuda untuk segera merdeka membuat golongan tuapun menyerah. Apa boleh buat, proklamasi harus segera dikumandangkan. Makna yang terkandung dalam kata “merdeka” sangatlah luas. Terlepas dari segala peristiwa yang terjadi di masa penjajahan. Makna kata merdeka bisa diartikan sebagai kebebasan terhadap individual dari segala belenggu yang membuat dirinya dikendalikan.
Pada tanggal 17 agustus 1945, tepat dihari 76 Tahun yang lalu, tiap orang menjalankan perannya masing-masing tanpa melihat apakah ia laki-laki ataupun perempuan. Waktu menuju proklamasi sangatlah cepat dan tergesa-gesa. Tak punya lagi waktu untuk memikirkan kedudukan dan pembagian peran berdasarkan gender. Bagaimanapun juga, proklamasi kemerdekaan bukan cuma milik lelaki saja. Seperti dicatat dalam seputar sejarah bahwasanya perempuanpun juga mempunyai peran penting baik dari belakang layar maupun diatas panggung.
Kata merdeka bagi setiap perempuan di Tanah air mempunyai makna yang berbeda-beda. Kemerdekaan memiliki makna yang luas, yakni merdeka mulai dari cara berfikir, berbicara maupun bertindak. Perempuan dikatakan merdeka ketika ia bisa mengambil keputusan sendiri, maupun berjuang dan membebaskan diri dari berbagai kekerasan, serta mendapatkan kebebasan bisa keluar dari rumah dan berpartisipasi dalam pembangunan. Bung Hatta sendiri pernah berpesan “kemerdekaan kita bukan hanya merdekanya sebuah bangsa dari penjajahan, tetapi juga merdekanya setiap individu warga negara dari segala macam penindasan dan penghisapan”.
Nilai konstruksi sosial yang sudah ditanamkan di kehidupan masyarakat memunculkan banyak stigma yang membuat perempuan tidak mudah lagi bisa memerdekakan dirinya. Menurut saya, ada tiga hal yang menunjukkan bagaimana perempuan Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Pertama, perempuan Indonesia belum merdeka atas tubuhnya sendiri. Terlihat bahkan sampai hari ini pun tubuh perempuan masih menjadi sasaran eksploitasi dan kekerasan. Ini terlihat jelas dengan maraknya kasus pelecehan sosial dan pemerkosaan, kuatnya stereotipe negatif terhadap tubuh perempuan ataupun kekerasan dalam rumah tangga.
Kasus kekerasan seksual tersebut menandai masih kuat anggapan bahwasanya tubuh perempuan hanyalah alat pemuas bagi superioritas kaum laki-laki. Cara pandang seperti ini berkaitan erat dengan budaya patriarkal. Belum lagi stereotipe yang dibangun oleh masyarakat telah merugikan di pihak perempuan. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka tiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suaminya, maka wajar saja jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.
Kedua, perempuan Indonesia belum merdeka untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai perempuan yang setara dengan laki-laki. Di berbagai lapangan kehidupan, seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya, perempuan masih mengalami diskriminatif. Dalam bidang ekonomi memang sudah banyak perempuan yang sudah sukses sebagai pengusaha. Namun, dalam kesehariannya perempuan indonesia masih sulit untuk berpartisipasi dan sejajar dengan laki-laki dalam urusan pekerjaan. Banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk mengurus pekerjaan rumah atau pembantu rumah tangga. Dikalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri.
Di bidang politik, partisipasi perempuan juga masih sangat kecil. perempuan yang berkiprah dalam arena politik tidak dapat mengartikulasikan aspirasi kepentingan khas dan kelompok mereka sendiri karena jumlah mereka minoritas dalam perpolitikan. Dalam sejarah polititk di Indonesia ini jumlah perempuan dalam lembaga politik formal tidak pernah mencapai angka strategis yang memungkinkan diperhatikannya, apalagi didengarnya, suara mereka dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan politik.
Dalam ruang sosial-budaya, langkah perempuan untuk keluar rumah masih sering dinilai negatif. Terlebih bila perempuan keluar rumah pada malam hari. Dalam ruang-ruang sosial seperti pertemuan warga, kehadiran perempuan sangat kecil.
Ketiga, perempuan indonesia belum merdeka untuk mengembangkan kapasitas dirinya sebagai manusia. Kenapa begitu? Karena terlalu banyak rintangan yang dihadapi perempuan untuk mencukupi makanan yang cukup, kesehatan yang baik, pendidikan bahkan kemerdekaan untuk mengambil keputusan dirinya sendiri. Masalahnya, rintangan struktur ekonomi-politik perempuan sulit untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang baik. Hal seperti itulah yang membuat partisipasi perempuan berjalan dengan lamban. Padahal, emansipasi perempuan juga dibutuhkan dan tidak terpisah dengan emansipasi seluruh rakyatnya. Bangsa yang telah mencapai keadilan sosial ketika bangsa tersebut memberikan kesetaraan gender terhadap rakyatnya.
Penulis: Lutfiyah
Editor: Reny Tiarantika
Komentar
Posting Komentar