Malang,
LAPMI - Dunia kemahasiswaan tidak terlepas dari
doktrin untuk mengikuti organisasi. Organisasi dalam hal ini dipahami sebagai
suatu perkumpulan yang terbentuk dari beberapa mahasiswa yang memiliki kesamaan
visi untuk dicapai lalu ditetapkan sebagai suatu tujuan tertentu. Organisasi
dalam dunia kemahasiswaan sepatutnya dipahami sebagai wadah untuk pengembangan
potensi tiap-tiap elemen yang tergabung didalamnya. Pengembangan potensi diri
disini dimaksudkan adalah lebih pada soft
skill (kemampuan komunikasi, team
work, kepekaan sosial, ketelatenan mengatur waktu, dan lain-lain). Hal ini
menjadi penting karena dalam bangku perkuliahan sangat minim akan pelatihan
tentang soft skill. Selain sebagai
wadah untuk mengembangkan potensi diri, organisasi ini juga dipahami sebagai
wadah yang untuk mencari jejaring yang luas. Sepintas lalu tidak sedikit
dijumpai seorang mahasiswa menjadikan alasan jejaring sebagai prioritas untuk
bergabung dalam suatu organisasi tertentu.
Organisasi
di dunia mahasiswa, ditinjau dari sifatnya diklasifikasikan menjadi 2 macam,
yaitu organisasi kemahasiswaan bersifat internal kampus dan ada yang bersifat
eksternal kampus. Organisasi kemahasiswaan yang bersifat internal kampus juga
terdiri dari beberapa macam, yaitu organisasi pengembangan kreatifitas (misalnya
Pers, Karate, Sepak Bola, Pramuka, Palang Merah Indonesia, dan lain-lain), organisasi
pengembangan keilmuan (misalnya organisasi tingkat program studi), dan
organisasi politik (misalnya Presiden Mahasiswa/ Badan Eksekutif Mahasiswa dan
Dewan Perwakilan Mahasiswa). Sementara itu organisasi mahasiswa yang bersifat
eksternal kampus juga terdiri dari beberapa macam yaitu ada yang bersifat
kedaerahan (misalnya Keluarga Langgudu Malang, Kerukunan Keluarga Pelajar dan
Mahasiswa Bima, Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Dompu, dan ada juga macam
organisasi kedaerahan lainnya), juga ada yang bersifat umum (misalnya Himpunan
Mahasiswa Islam, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan lain-lain).
Kehadiran
berbagai macam jenis organisasi kemahasiswaan sebagaimana disebutkan diatas
adalah semata-mata dimaksudkan untuk mengembangkan kemapuan soft skiil mahasiswa. Keberagaman organisasi
yang hadir hanya ditandai sebagai ragam macamnya metode atau cara untuk melatih
diri, namun pada esensinya, keseluruhannya hadir dengan tujuan yang sama yaitu
sebagai wadah pengembangan kemampuan soft
skill juga jejaring anggota yang tergabung didalamnya. Namun demikian
mulianya tujuan suatu organisasi tersebut, ada saja gunjingan yang merendahkan
esensi keberadaannya. Contoh kecilnya, sebagian besar mahasiswa oleh orang
tuanya dilarang untuk bergabung dalam sebuah organisasi. Hal ini lalu harus
dipahami bahwa ada alasan mendasar yang melatarbelakangi lahirnya suatu
pemikiran-pemikiran yang demikian itu. Alasan mendasarnya adalah dengan ikut
berorganisasi, seorang mahasiswa kemudian secara serta merta membuat perkuliahannya
menjadi bermasalah (nilai setiap mata kuliah menurun, indeks prestasi menurun,
masa studi menjadi lama, dan lain-lainnya). Alasan ini kemudian tidak hanya
sebuah andaian saja, namun memang begitulah realitas terjadinya pada sebagian
besar mahasiswa yang tergabung didalam organisasi.
Dalam
hal ini penulis ingin mengungkapkan 2 masalah pokok yang seringkali dijumpai
dalam dunia organisasi kemahasiswaan. Uraian berikut ini didasarkan pada
pengalaman penulis dalam menggeluti berbagai macam organisasi kemahasiswaan.
Hal berikut ini selalu saja ditemukan disebagian besar elemen yang tergabung
didalamnya.
Berorganisasi merusak kuliah
Sebagian
besar mahasiswa yang tergabung dalam suatu organisasi tertentu gagal memahami
esensi dari hadirnya organisasi kemahasiswaan. Hal ini juga secara serta merta
menimbulkan penarikan kesimpulan yang keliru yaitu antara kuliah dan organisasi
harus dipilih salah satunya. Maka muncul kemudian kelompok yang menamai dirinya
organisatoris karena aktif dalam dunia organisasi namun kehancuran menimpa perkuliahannya.
Selain itu juga ada kelompok yang dinamai kupu-kupu (kuliah pulang–kuliah
pulang) yang tidak memilih organisasi sebagai wadah pengembangan soft skill dirinya namun indeks
prestasinya tetap terjaga dengan baik.
Disini
penulis berusaha menjelaskan akar persoalan sehingga muncul gejala seperti
digambarkan dalam paragraf sebelumnya, juga berusaha memberikan penjelasan atas
fenomena yang terjadi tersebut. Dalam hal organisasi kemahasiswaan, perlu
dipahami poin pokoknya adalah syarat menjadi anggota atau tergabung dalam suatu
organisasi kemahasiswaan tertentu adalah harus menjadi “mahasiswa”. Kata
“mahasiswa” tersebut kemudian harus dipahami bahwa menjadi anggota atau
tergabung dalam suatu organisasi kemahasiswaan tertentu harus beres urusan kemahasiswaannya.
Urusan kemahasiswaan disini dipahami sebagai urusan akademik mahasiswa didalam
perkuliahan. Keberesan tersebut ditandai dengan nilai setiap mata kuliah stabil
bahkan meningkat, indeks prestasi stabil/ meningkat, masa studi menjadi
singkat, dan lain-lainnya. Sejatinya dengan demikian organisasi dan kuliah
tidak sepatutnya menjadi pilihan yang saling bersinggungan, melainkan keduanya
secara simultan saling melengkapi sehingga keliru jika ada yang berpikir
berorganisasi akan merusak kuliah. Faktor pendukungnya juga adalah, bahwa belum
ditemukan jadwal kegiatan organisasi kemahasiswaan itu semata-mata mengganggu
jadwal perkuliahan atau bertabrakan dengan jadwal kuliah. Sejatinya, adanya
pemikiran bahwa dengan berorganisasi akan merusak kuliah itu didasarkan pada
pribadi yang malas dan kurang lihai mengatur waktu dari elemen organisasi
tersebut secara terus-menerus, sehingga mengakibatkan urusan kemahasiswaannya
menjadi terbengkalai. Kebiasaan malas yang dirawat secara terus-menerus dan
berlindung dibawah payung organisasi tersebut menjadikan eksistensi organisasi
menjadi terdegradasi, yang berimplikasi pada kurangnya minat mahasiswa untuk
mengembangkan potensi diri (soft skill)
melalui suatu organisasi tertentu.
IP (Indeks Prestasi) tinggi tidak menjamin masa depan
Sebagai
kelanjutan “organisasi merusak kuliah”, muncul kelompok yang mengatakan bahwa
IP tinggi tak menjamin masa depan, tidak ada jaminan bekerja, dan bahkan ada
yang mengatakan bahwa ijazah adalah bukti seseorang pernah sekolah bukan bukti
mereka berpikir. Ekstrimnya pemahaman tersebut bukan tanpa alasan, bahkan
kebanyakan orang yang sukses (dalam artian memiliki pekerjaan yang layak) juga
mengungkapkan bahwa IP tinggi tak menjamin masa depan dan kesiapan dalam dunia
pekerjaan. Dalam hal ini penulis tidak menyalahkan ungkapan tersebut, namun
menurut penulis kebanyakan mahasiswa dalam dunia organisasi keliru dalam
menafsirkan ungkapan-ungkapan tersebut diatas.
IP
tinggi tak menjamin masa depan seharusnya dipahami bahwa jika kuliah hanya
mengejar IP saja tidak cukup untuk kesiapan pribadi dalam menghadapi dunia
kerja, namun perlu ditopang oleh kemampuan soft
skill (kemampuan komunikasi, team
work, kepekaan sosial, ketelatenan mengatur waktu, dan lain-lain) yang mana
kemampuan tersebut dominan di pelajari dalam organisasi. Pemikiran yang
demikian itu perlu dipahami dengan baik sehingga memotivasi diri untuk
berkuliah dengan baik/ membereskan urusan kemahasiswaan dan juga ikut terlibat
dalam dunia organisasi, bukan malah berpikir sebaliknya sehingga bertumpu pada
pemikiran bahwa kuliah (IP) itu tidak penting. Jika memang dibenarkan narasi
bahwa “kuliah itu tidak penting”, lalu mengapa tidak mengajukan pengunduran
diri untuk tidak kuliah lagi?, mengapa masih bertahan dengan label mahasiswa?.
Pertanyaan tersebut sejatinya tidak mampu dijawab dengan baik, dikarenakan
dunia kerja juga memerlukan syarat administratif yang harus dipenuhi. Contohnya
adalah suatu pekerjaan menyaratkan IP, untuk mendapatkan IP yang baik maka
harus dilalui dengan proses pembelajaran yang baik pula. IP yang baik akan
semakin baik ditopang dengan pengalaman organisasi dan kemampuan soft skill yang baik pula.
Selanjutnya
adalah pemikiran yang mengatakan bahwa ijazah adalah bukti seseorang pernah
sekolah bukan bukti mereka berpikir. Menurut penulis, tentu pemikiran yang
demikian ini adalah keliru karena untuk mendapatkan ijazah dengan baik dan
benar harus ditempuh dengan proses (belajar) yang baik dan benar pula. Dengan
adanya proses (belajar) didalamnya, maka secara serta merta membuktikan bahwa
seseorang tersebut mengalami proses berpikir.
Penulis:
Jihadul Amry
Editor:
Reny Tiarantika
Komentar
Posting Komentar