Jihadul Amry/ Kader Komisariat Al-Tsawrah UNISMA
Malang, LAPMI - Eksekusi jaminan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah diatur sedemikian rupa sehingga dalam pelaksanaannya tidak menciderai hak hukum masing-masing pihak yang terlibat didalamnya. Namun dalam pelaksanaannya tidak sebagaimana yang diharapkan oleh undang-undang tersebut. Dengan adanya titel eksekutorial pada sertifikat jaminan fidusia tersebut memberikan kekuatan serta kekuasaan yang luar biasa terhadap kreditur untuk melaksanakan eksekusi jaminan fidusia tersebut. Hal ini dikarenakan titel eksekutorial yang dimaksud dalam sertifikat jaminan fidusia tersebut menempatkan sertifikat jaminan fidusia sama kekuatan hukumnya dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Khusus tentang eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Namun terhadap pasal tersebut telah dilakukan uji materi sebanyak 2 kali di Mahkamah Konstitusi. Yang pertama yaitu pada tanggal 06 Januari 2020 dengan putusan nomor 18/PUU-XVII/2019 dan yang kedua adalah pada tanggal 31 Agustus 2021 dengan putusan nomor 2/PUU-XIX/2021. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 18/PUU-XVII/2019, memberikan tafsir bahwa dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, dapat ditempuh dengan 2 cara. Yang pertama tetap dilaksanakan berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang dalam pelaksanaannya pihak debitur secara sukarela untuk menyerahkan benda objek jaminan fidusia dan adanya kesepahaman para pihak terhadap kondisi cidera janji yang terjadi. Kedua, eksekusi jaminan fidusia harus didasarkan pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, jika dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia tidak memenuhi 2 unsur yang telah diuraikan sebelumnya.
Semenjak dikeluarkannya putusan nomor 18/PUU-XVII/2019 oleh Mahkamah Konstitusi, banyak desas-desus yang membahas mengenai pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi ini. Banyak yang memberikan pendapat bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mencabut kekuatan eksekutorial yang dimiliki oleh sertifikat jaminan fidusia, sehingga penetapan wanprestasi debitur yang dijadikan landasan eksekusi jaminan fidusia harus didasarkan pada putusan pengadilan yang bersifat tetap. Hal ini pula mendasari adanya pengujian materi yang selanjutnya dengan nomor 2/PUU-XIX/2021, namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, banyak sekali kreditur yang berpendapat bahwa pelaksanaan eksekusi semakin dipersulit, karena ada anggapan bahwa eksekusi jaminan fidusia harus didasarkan pada putusan pengadilan yang bersifat tetap sementara itu objek perkara atau objek fidusia tidak besar sehingga apabila harus melalui pengadilan harus mengeluarkan biaya yang besar dan sangat boleh jadi melebihi nilai objek jaminan.
Jika kita telisik bersama dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, yang menjadi poin pentingnya adalah bukan pada pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia namun Mahkamah Konstitusi menitikberatkan pada dasar dilakukannya eksekusi tersebut. Bahwa adanya pernyataan wanprestasi yang menjadi dasar dilakukan eksekusi. Adanya pilihan eksekusi harus didasarkan pada putusan pengadilan ini, agar masing-masing pihak diberikan kesempatan yang sama didengarkan penjelasannya dan keterangannya terhadap kondisi wanprestasi. Karena kondisi wanprestasi ini menentukan dilaksanakan atau tidaknya eksekusi terhadap objek jaminan fidusia tersebut. Jika eksekusi hanya dilakukan berdasarkan pada norma Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka pernyataan wanprestasi yang ditentukan kreditur harus dapat diakui/disetujui oleh debitur. Jika pernyataan wanprestasi tersebut tidak mendapat pengakuan dari masing-masing pihak atau belum adanya kesepahaman masing-masing pihak terhadap kondisi wanprestasi, maka langkah yang harus ditempuh adalah dengan mendapatkan putusan pengadilan yang bersifat tetap atas hal itu. Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam putusannya bahwa penentuan kondisi wanprestasi melalui jalur pengadilan diharapkan memberikan ruang kepada debitur untuk melakukan pembelaan.
Eksekusi jaminan fidusia didasarkan pada putusan pengadilan yang bersifat tetap sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 merupakan alternatif dan/atau langkah terakhir yang dapat ditempuh apabila masing-masing pihak belum mencapai kesepahaman terhadap penetapan kondisi wanprestasi sebagai dasar dilakukan eksekusi tersebut. Sebaliknya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, tidak mencabut kekuatan hukum berlakunya Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Eksekusi tetap dapat dilaksanakan didasar pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia apabila adanya kesepahaman masing-masing terhadap kondisi wanprestasi.
Penulis: Jihadul Amry
Editor: Reny Tiarantika
Komentar
Posting Komentar