Upaya Pencegahan Kasus Kekerasan Seksual, Komnas Perempuan: Indonesia Harus Sediakan Payung Hukum yang Komprehensif
Peluncuran catatan tahunan KOMNAS Perempuan |
Malang, LAPMI – Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, kembali menegaskan tentang kejadian pemerkosaan yang menimpa 13 santriwati di Bandung beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa Indonesia saat ini semakin darurat dalam menyediakan payung hukum atas perlindungan kekerasan seksual.
Keadaan yang semakin darurat akan maraknya kekerasan seksual di Indonesia menunjukkan pentingnya ketersediaan payung hukum yang jelas. Di dalamnya juga perlu memuat upaya pencegahan kekerasan seksual, terutama di dunia pendidikan.
"Kondisi darurat kekerasan seksual menunjukkan pentingnya ketersediaan payung hukum yang komprehensif. Di dalamnya tentu terdapat pencegahan kekerasan seksual, diantaranya harus di dunia pendidikan," ucap Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan).Senin, (13/12/2021).
Dalam rancangan Undang-undang (RUU TPKS) Tindak Pidana Kekerasan Seksual, bagi Siti, hal ini seharusnya bisa menjadi salah satu upaya dalam menekan kasus-kasus tersebut. Per 8 Desember 2021, ia juga mengatakan bahwa RUU ini telah memuat poin pencegahan kekerasan seksual di dunia Pendidikan. RUU ini seharusnya juga dapat mendorong berbagai macam institusi Pendidikan agar memiliki kewajiban dalam upaya mencegah segala kekerasan seksual dan dapat menyediakan ruang aman bagi setiap peserta didik.
Bagi Komnas Perempuan, hal ini perlu ditangani semua pihak dengan serius. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, kekerasan seksual di ruang lingkup pesantren menempati urutan ke-dua setelah universitas atau perguruan tinggi, khususnya di lingkungan Pendidikan. Data yang dirilis dari 2015-2020 telah memperlihatkan bahwa kasus kekerasan seksual terjadi hampir di semua jenjang dan jenis Pendidikan di Indonesia.
"Mengingat umumnya kasus kekerasan seksual sulit untuk diadili karena berkaitan dengan relasi kuasa antara korban dan pelaku tersebut," ungkap Siti.
Siti juga menyampaikan bahwa kemunculan kasus seperti ini (kekerasan seksual) dikarenakan belum ada regulasi yang benar-benar bisa menjamin hak santri dan juga belum ada kewajiban bagi setiap penyelenggara pesantren dalam membangun ruang yang aman dari kekerasan termasuk kekerasan seksual.
Kondisi demikian juga kerap diperburuk dengan adanya asumsi untuk tidak mempercayai praktik kekerasan seksual di lingkungan pesantren atau ruang lingkup keagamaan yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai kebaikan.
"Padahal nyatanya hal ini terus terjadi dan korban sulit untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan karena dibungkam atas nama baik pesantren," tegas Siti.
Penulis: Rajab Abubakar Sidiq Jailani
Editor: Bagus Satria
Komentar
Posting Komentar