Ilustrasi: detikcom
Malang, LAPMI - Catatan ini, sewaktu malam Sabtu saya memutuskan besok paginya untuk berjalan kaki ke Taman Slamet, taman yang berada di tengah-tengah kota pelajar, tepatnya di tengah-tengah kota inilah yang menjadi ikon kota pelajar itu sendiri, lantas kota ini dulunya menjadi kiblat dalam setiap aktivitas perencanaan pra kolonial sebab menjadi kota dengan tata ruang terbaik pada masanya sampai hari ini, dulunya pula mau di jadikan ibu kota negara.
"Sebentar saya mau bakar rokok yang sudah setengah, yang bosan di asbak"
Okeh kita mulai...
Catatan kali ini catatan kecil di emperan guest house, lantas demikian mereka yang yang bertahan hidup di tengah arus zaman, pada sebuah perbincangan kecil di tengah-tengah gedung berkavling empat, berlantai tiga, lelaki kelahiran Jakarta bertato di lengan kanan, waktu itu Malang sedang di guyur hujan kecil, seorang lelaki memberi pengakuan pada saya di tengah-tengah perbincangan.
"Saya di sini menjual tampang, dengan keamanan ke pada pacarku, berprofesi sebagai pekerja seks komersial "
Pada malam itu keheningan tercipta sebentar dan pergi ketika suara datang kembali. Entahlah pada batas ini saya berusaha memprediksi bagaimana mereka bertemu dan menggembara dalam asrama untuk saling menjaga dalam melakukan transaksi pada setiap malamnya, kalkulasinya tentu sama-sama mencari hidup, disini saya melepaskan cinta yang di definisikan oleh Susitejo cinta tak perlu kalkulasi, pada peritiwa ini tentunya lelaki meminjam tubuh perempuan dan perempuan meminjam kekuatan lelaki.
Ia melanjutkan lagi, "Iya, saya mengakui betul, seorang perempuan itu saya bertemu dengannya di Diskotik Sedari tiga Minggu lalu, mengantarkan aku pada tempat ini, tempat yang menggeluti tentang cara bertahan hidup yang klasik dengan cara mencari pelanggan di era modern "
"Aku cukup bertahan dengan cara aku menarik pelanggan dan dia dengan tubuhnya menjadi alat produksi untuk mendatangkan uang, di tengah zaman yang menghalalkan cara ini "
"Kami mengais rezeki yang sudah tak mengenal Tuhan, pada lebaran Idul Fitri kemarin ketika sholat Ied saya tinggalkan sebab ada pelanggan yang rela bayar mahal", pacarnya mulai bertutur
Kemudian seorang lelaki dari pojok resepsionis menggendong bayinya meminta korek api, lelaki ini yang nanti saya ketahui dari security bahwa istrinya juga bertarung hidup dengan cara yang sama, entalah lelaki gemuk tingginya 95 cm, mungkin telah di suntik mati rasa cemburunya ketika tak terhitung dalam seminggu berapa pelanggan yang meniduri istrinya, namun ia tetap setia untuk menggendong bayinya.
Tepatnya beberapa Minggu kemudian ketika membeli kopi dan saya mulai membakar sebatang rokok dari semalam, lelaki itu keluar menggendong bayinya, pertanda tamu sedang ada di kamar nya, menggugurkan niat saya untuk tak bertanya
Dengan nada datar "ibunya ke mana pak", tanya saya
"Sampai kapan mau bertahan dengan pekerjaan seperti hari ini?"
"Anak ku nanti ketika ia sudah mengerti dengan kehidupan ini, dan membuat onar dengan niatnya maka itu salah ku", dengan mata yang basah ia bertutur
"Ketika aku menikah dengan ibunya seperti pada pernikahan umumnya mahar acara keluarga dan akad, namun aku bukankah yang paling malang menatap nasib?, Sebab seketika, aku di buruh oleh utang, aku berani beradu nasib di meja judi, dan istri ku beradu nasib di Surabaya dengan cara yang hari ini, menjadi pekerja seks komersial"
"Saya jelasnya cemburu, ketika tamu datang tapi apalah daya, seakan aku terjabak, istri ku membutuhkan pengamanan, lantas tak mungkin ia harus bekerja jika iya harus menyewa lelaki lain selain aku mungkin lelaki itu akan menikmati tubuhnya dengan gratis"
Dalam tuturan bapak satu anak ini tak mampu saya mebanyangkan bagaimana dilema yang ia harus hadapi, "Setiap saat adzan itu saya dengar ketika itu pula dalam satahun pekerjaan istriku mataku basah karena adzan itu "
"Saya terjebak, satu sisi mau mencari pekerjaan lain, satu sisi pula harus menjaga istri ku, sebab tamu yang datang tak tentu bisa saja malam, bisa saja siang, bisa pula sore"
Lantas perputaran ekonomi menentukan mereka besok harus makan apa?
Bertahan hiduplah yang menentukan mereka harus berbuat apa, jika seorang karyawan perusahaan menjual tenaganya dan kemudian di gaji setiap bulan, maka mereka menjual tubuhnya untuk di nikmati para pria hidung belang demi sepersen uang dalam tiga puluh sampai empat puluh menit dalam dua puluh empat jam, zaman begitu tragis menciptakan paradigma, kemudian lagi menciptakan nilai mana yang harus di kejar, katakan layak untuk di sanjung, dalam konteks ini, sebuah tradisi lama dengan cara baru untuk menghasilkan uang, zaman menciptakan kekecilan pengakuan bahwa kesalahan persepsi kita-kita yang mengaku bahwa itu salah dan semua itu benar tetunya ada.
"Kali ini, saya selama dua hari duduk di tempat parkir guest house dan seorang juru parkir berkata, lihatlah seorang berjubah itu ia kontrak di guest house bintang tiga ini, namun berprofesi sebagai PSK"
Seketika saya mengambil kesimpulan yang tak pasti kebenarannya. Setiap pelanggan akan mengetahui identitasnya, namun sebagian besar masyarakat akan berkata dia adalah seorang taat beragama yang tinggal di hotel bintang tiga itu, inilah zaman yang menciptakan sebongkah kelebihan persepsi bahwa sebuah prespektif tetaplah baik dalam bentuk apapun demi kebenaran bahwa saya tetap baik-baik saja untuk bertahan hidup demi nilai taraf hidup yang saya kejar, malam datang saya melihat jelas plat nomor kendaraan bermotor perempuan tekun Agama itu saya catat dan saya ketahui nomor kamarnya 98, malamnya kepastian atas kebenaran itu ada, seorang lelaki di arahkan ke kamar nomor 98, pada pukul 02:45, ketika waktu menunjukan 03:20, lelaki keluar, dan waktu beranjak pada 03:30 perempuan itu keluar dengan pakaian serba terbuka keluar guest house untuk memesan sebuah teh hangat dan ngobrol dengan kita, namun ketika tepat pukul 08:07, perempuan agamis itu keluar sudah menggenakan jilbab, dan tepat 08:08 ia keluar entahlah kemana, mungkin saja lelaki itu temannya ataukah kerabatnya?
Tetapi setiap lelaki yang menggunakan jasa para PSK kami bisa deteksi dengan cepat, memakai masker, rata-rata berjaket penutup kepala, jika membayar parkir lebih dari Rp.2.000.00, itu cara mendeteksi para pelanggan, namun ironisnya setiap perempuan ini memiliki pacar dan setiap pacar merekalah yang kemudian menjual mereka, suatu malam seorang lelaki menggendong bayi nya di losmen, sontak saya berdiam mungkin saja kamar pada hotel bintang tiga itu sedang panas dan bayinya butuh udara dingin kota ini, namun pada malam berikutnya tetap sama, bayi itu akan habiskan malamnya pada kereta bayi, sambil di temani ayahnya bermain gatget di sofa losmen, nyatanya ibu dari bayi itu pula seorang perempuan malam, nyatanya ayah bayi itu pula yang memegang kuasa atas ibunya mencari pelanggan, ah, cara bertahan hidup macam apa di zaman ini, ketika saya bertanya kepada ayah si bayi kawin kapan?
"3 tahun yang lalu "
Jawabnya sambil menunjukan foto pernikahan seperti pengantin yang kita ketahui pada umunya dan memberikan vidio ijab kabul ayah dari bayi itu kepada saya wow, ini hidup, wow ini cara bertahan hidup, kota ini menyimpan sesak yang panjang pada pergulatan kehidupan, namun ayahnya berkata pula, sesekali akulah yang di bayar oleh perempuan yang berlabel istri seorang lelaki perantau yang tak pulang, waktu di kota industri dulu, uh inilah hidup?
Guest hotel ini dulunya sempat mau didirikan tempat ibadah entalah di kemudian hari berdirilah gedung tiga lantai berkavling 4 dengan dua bendera perusahan guest house, dibatalkan di bangun tempat ibadah karena agama minoritas jika di lihat dari penduduk sekitar, ketika di bangun guest house itu jalan di perbaiki oleh pemilik saham, dan membuka keran agar perputaran ekonomi terus terjadi, dan tentunya aktivitas ini tidak pernah di ketahui oleh aparat penegak hukum yang ada, mungkin pula ketahui tetapi satu dan lain hal itu terus di lupakan, entalah.
Penulis: Rahmat Watimena
Editor: Reny Tiarantika
1. Bangunan Ceritanya barangkali bisa kita lihat seperti apa, tapi tulisan ini mau kemana masih belum jelas
BalasHapus2. Tulisan dibagian awal cerita perlu diperhatikan lagi agar tidak ada kata yang tertinggal
3. Upaya penulis dalam hal ini Rahmat Watimena perlu untuk diapresiasi, luar biasa. Sy mengikuti beberapa tulisan" nya di Lapmi dan dirasa jika penulis ini konsisten dalam karya tulis InsyaAllah suatu saat tulisan-tulisannya bisa mewarnai dunia kepenulisan di Indonesia. Aamiin || Semangat dan maju terus untuk mas Rahmat Watimena 👍
Siap, terimakasih atas masukannya kanda
Hapus