Malang, LAPMI - Di era disrupsi seperti sekarang ini kita kian di hadapkan dengan pelbagai tantangan baik secara nasional maupun global, Indonesia sendiri dalam perkembangan kenegaraannya banyak sekali diiringi dengan caruk maruk sosial baik dalam sektor ekonomi, politik, maupun persoalan keagamaan yang tidak terlepas ikut mewarnai kehidupan berbangsa kita hari-hari ini. Sebagai negara yang sedang berkembang memang tidak mudah bagi bangsa yang besar seperti Indonesia dalam mengharmoniskan dinamika sosial warga negaranya di tambah lagi terdapat banyak perbedaan yang melatar belakangi kian banyaknya problem yang kini di hadapi.
Pemerintah dengan segenap elemen jajaran strukturalnya dituntut bisa mengendalikan arus perselisihan antar warga negara, baik perselisihan masyarakat dengan masyarakat yg lain maupun masyarakat dengan pemerintah itu sendiri yang mana seperti sekarang ini kita lihat banyak masyarakat yang kemudian memberontak melakukan perlawanan, dengan kian banyaknya kebijakan yang mana dianggap merugikan warga negara dan menguntungkan kelompok tertentu hal ini menjadi pemicu adanya perlawanan masif yang di lakukan oleh warga negara terhadap aparatur pemerintahnya. Ditambah lagi adanya krisis legitimasi dari publik terhadap pemerintah lantaran jejak sejarah kenegaraan yang memang tidak bisa kita nafikan kian dihadapkan dengan banyaknya problematika sosial yang amat buruk.
Indonesia dengan sejuta masalah di dalamnya tentu menjadi tugas bersama bagi semua pihak untuk bagaimana memperbaiki tatanan kehidupan sosial kita sekarang, hal yang kemudian saya soroti dalam tulisan kali ini ialah persoalan diskursus moral religi bangsa indonesia dalam menyambut momentum bulan suci ramadhan, yang mana bulan suci ramadhan merupakan masa di mana umat muslim benar-benar memaksimalkan amal ibadahnya karena bulan ramadhan dalam Islam merupakan bulan yang paling mulia dan di penuhi keberkahan yg melimpah, namun bulan ramadhan tahun ini lagi-lagi umat Islam Indonesia dibuat dilema dan tidak leluasa untuk beraktivitas menjalankan ibadah dilingkup sosial secara luas karena adanya pengaturan kenegaraan yang membatasi. Kendati demikian kita tentu harus selalu mematuhi kebijakan yang ada karena setiap kebijakan yang ada mesti kita nilai positif sebagai inovatif perbaikan nasional, pun disamping itu kita memiliki hak untuk menolak kebijakan-kebijakan yg bersifat menindas kita sebagai warga negara.
Dalam
momentum bulan suci Ramadan tahun 1443 H kali ini lagi-lagi diwarnai dengan
nuansa kecemasan yang mendalam, pandemi yang tak kunjung usai menjadi momok
bagi bangsa yang beragam dan multi kultural seperti Indonesia. Di tengah
gempuran kebijakan pembatasan sosial umat beragama di tuntut secara moral
religi dan kebijakan struktural agar sama-sama bisa menyikapi peraturan
pemerintah untuk meminimalisir penyebaran covid-19 sembari menjalankan ibadah
seperti yang di hadapi oleh umat muslim saat ini.
Kebijakan yang kian di hadirkan tak bisa
juga kita pandang sebelah mata dengan bersikap apatis dan melanggar karena
berdalih kepentingan ibadah, karena sesungguhnya pun dalam Islam memberi
toleransi dalam melakukan ibadah. Adanya pembatasan sosial yang dilakukan
sekalipun itu menyangkut perihal ibadah tentu memiliki dasar yang kuat dalam
tata nilai religi sebagai mana kita ketahui bahwa lahirnya kebijakan seperti
demikian itu dilandasi adanya ijtimah para ulama besar di Indonesia yang mana
hal tersebut menjadi
dasar juga merupakan bagian dari pada hukum
Islam.
Moralitas kita sebagai manusia sekaligus sebagai warga negara
kian di uji dalam nuansa yang kian mencekam ini, mengingat banyaknya
tanggapan kaum awam akan kebijakan pelarangan yang berkaitan dengan ibadah
secara berjamaah kian di anggap hal negatif dalam konteks keimanan padahal
adanya pengaturan semacam itu merupakan upaya untuk mengembalikan harmonisasi
kehidupan bernegara dengan menekan laju kontaminasi/penyebaran covid-19 yang
sekarang di ganti dengan adanya varian baru bernama omicron. Hal ini tentu
menjadi PR bagi kita bersama
untuk
bagaimana bisa bersama-sama
secara kolektif menyikapi dengan bijak upaya pemerintah untuk pemulihan
nasional lantaran
ini juga bagian dari tanggung jawab kita sebagai warga negara.
Kemudian di samping menaati peraturan
pemerintah yang berlaku sekarang tak lupa dibulan suci yang penuh keberkahan
ini kita semakin meningkatkan ibadah kita, melakukan hal-hal positif dengan
senantiasa mengharap ridho Allah semata. Sebagai hamba yang taat suda menjadi
kewajiban bagi kita untuk melakukan apa yang diperintahkan dan menjauhi segala
larangan yang di kehendaki oleh Islam, sekalipun kita tidak terlalu bisa
leluasa beraktivitas di luar (lingkungan sosial) namun tidak
menjadi penyurut
semangat yg menjadi penghalang untuk kita beribadah dan
senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Mudah-mudahan amal ibadah kita
semuanya di terima oleh Allah dan kita selalu berada dalam lindungan-Nya,
dijauhkan dari paparan covid-19 maupun penyakit yang lainnya sehingga kita bisa
memaksimalkan amalan di bulan suci yg penuh berkah ini, aamiin ya rabbal
al’aamiin.
Pada akhirnya orang yang berpuasa harus
melakukan tazkiyah yaitu sebuah upaya untuk membersihkan hati dari penyakit
hati seperti iri, dengki dan sifat sombong untuk selanjutnya diganti dengan
akhlak yang mulia. Ramadan ialah bulan penghapusan sampah kehidupan atau yang
kita kenal dengan dosa-dosa, oleh karenanya kita mesti memperbanyak istigfar
seraya memohon ampunan dari Tuhan yang maha pengampun (Allah SWT). Semoga
akhlak seperti yang disampaikan dimuka menjadi kebiasaan bagi setiap orang yang
berikhtiar memohon ridho Allah di bulan puasa ini.
Penulis: Nandar Irawan
Editor: Reny Tiarantika
Komentar
Posting Komentar