![]() |
Ilustrasi; iStock |
Malang, LAPMI - Setelah surat yang ketiga tiba kepada Maria dari tangan bapak Mantri, Rahman berucap dengan lamban dalam surat kecil yang masih tertinggal setetes air mata yang tenggelam namun meninggalkan jejak.
"Kau tahu ketika lautan sedang mengancam, buih yang keluar dari bibir arus menandakan lautan sedang mabuk dan muntah dalam kesepianya. Ia tak pernah sendiri-sendiri dalam menuliskan syairnya kepada Tuhan. Ketika lautan mulai tenang yang keluar adalah hanyut-hanyutan kenangan seorang nelayan terhadap tangkapannya kemarin, namun tetap ia bersyair kepada Tuhan. Maka disitulah aku ingin menjelma menjadi Tuhan kedalam mata mu. Kau tahu itu bukan?"
Maria berhenti sejenak membacakan suratnya dan mulai basah matanya. Menggenang Rahman yang hilangkan nyawa keluarganya, dengan mata basah Maria melanjutkan membaca isi surat itu.
"Hanya ingin menjadi Tuhan diperasaan seorang ratu mungkin tak mampu dijamah oleh pikiran lelaki di luar sana, apalagi saya dengan masa lalu salah satu pelaku pembunuh orang keluarga mu. Jantungku berdebar ketika menuliskan surat ini teringat betul ketika darah dari tangan ayah mu terpancar dihadapanku. Pertanda telah hilang kehormatan keluarga mu dan ketika teman lelaki ku menebas kepala ibu mu tepat dibelakang ku. Aku terus berpikir bahwa tidak ada lagi kasih sayangmu lenyaplah sudah. Lantas dengan sengaja aku mendorong mu untuk lari dan aku meminta maaf tak sempat menolong kedua adik mu dari kematian, rumahmu dari kebakaran. Akankah seorang manusia yang ada diperistiwa itu hilang rasa kemanusian? Tentu tidak, jika manusia itu datang dan hadir tidak dengan dendam. Aku pada kondisi itu, Maria… dimana tak mampu aku terjamahkan perang yang terjadi, tidak mampu aku terjamahkan juga mereka yang ikut perang karena dendam. Sebab yang ada hanyalah darah diganti darah dan nyawa diganti nyawa."
Ucapan Rahman pada surat yang sampai pada 23 Juli 2000 itu.
Seperti malam yang jatuh pada pelukan bintang dan bulan, Rahman dengan kebasaran keberanian dan kebesaran cintanya tak lupa untuk berkata maaf. Meminang seorang perempuan yang kedua orang tuanya menghembuskan nafas terakhirnya didepan anak perempuannya dengan amarah segerombolan lelaki. Namun di tengah-tengah rumah yang hangus terbakar, gereja dan masjid pun masih juga dijaga oleh pasukan kedua belah pihak pembela agama. Membara tangisan dari anak yang menunggu kabar ayahnya dari medan perang, ibu yang menunggu kabar suaminya dari medan perang, dengan belas kasih suami istri yang menunggu kabar anaknya dari medan perang. Di medan perang waktu itu semuanya bertafsir hanya meninggal ataukah hidup. Jika pulang mu dibopong dengan tangan sebelah tidak ada itu hal wajar, dengan kaki yang kudung sambil darah mengalir ataukah ditertembak. Maka itu hal yang lumrah, sebab wajar dan lumrah menunjukkan sedang bekerjanya cinta.
Rahman mulai risau karena tidak ada balasan surat yang datang, pada bulan berikutnya Rahman mencoba mengirimkan surat lagi.
"Aku akan ke kampung mu, dengan pakaian serba putih. Namun kehadiran ku kali ini bukan tentang jihad dan perang bela agama, namun cinta atas salah ku dan kehidupan kita kelak"
Surat tiba pada 30 Agustus 2000, yang Rahman ketahui dari bapak Mantri juga setibanya bapak Mantri pulang dari Ambon. Rahman mulai berpamitan ke orang tua dan anak-anak kampungnya sebab Kapal Siguntang yang ditumpangi bapak Mantri dua hari lagi akan bersandar di pelabuhan sesuai rute pulau Aru dan Papua. Kemudian kapal mulai berlabu di pelabuhan, waktu itu hujan rintik senduh menyusuri niat keberangkatan Rahman.
"Tunggu dulu Rahman, waktu belum pas untuk melamar Maria. Orang-orang masih panas dengan perang. Tunggu waktu baik-baik baru kau melamar Maria, jika kau pergi dengan situasi orang masih dendam orang, seperti hari ini maka sesampainya kau disana kematian akan menyambut mu"
Sambil membakar kretek, bapak Mantri berucap lagi;
"Kalau kau sampai disana dan betul kematian menyambut mu maka perang itu akan terus membara. Jangan main-main, ini bukan perang suku dengan suku bukan juga perang negara dengan negara namun ini perang agama."
Penulis: Rahmat Watimena
Editor: Reny Tiarantika
Komentar
Posting Komentar