Rahmat Watimena/ Kader HMI Al-Tsawrah/ Mahasiswa UNISMA
Malang, LAPMI - Rahman, malam telah berlalu sementara angin yang datang membawakan tidur kepada nelayan yang lelah melawan ombak, kepada mereka yang mengasar kopra dan menjemur pala, tetapi aku percaya bahwa malam yang jatuh pada pelukan bintang membawakan aku pada sebuah ingatan bahwa angin yang mengikat rinduku akan terus erat kepada mu.
"Wati, di tenggara bintang jatuh orang-orang bersyair"
"Apakah aku akan seperti serdadu Perancis yang setelah menuliskan sebuah pesan di kaca, yang mengutarakan kesepiannya di istana mini, setelah itu menggantung diri, apakah ini yang harus aku alami?" dengan tangan yang gemetar.
Kemudian di atas Benteng Nassau Wati pelan-pelan menghentangkan kakinya.
"Rahman jika rindu memang sekejam ini dan setajam ini pula apakah rindu ini satu dari sekian anak panah Ali kepada musuhnya, satu dari sekian tebasan pedang Thariq bin Ziyad"
"Rahman, jika memang yang harus aku kompromi adalah rindu maka haruskah pula aku kompromi atas kenangan yang kau taruh di setiap ruas sudut tempat ini?
"Nyatanya tidak, kabar telah datang dan kabar telah datang, bahwa negeri ini akan merdeka, negeri akan, apakah kau masih mencintai ku?"
"Mohonlah angin kau bisik saja namaku di telinga Rahman, mohonlah laut kau hanyatkan saja wajah ku ke depan Rahman, mohonlah angin kau bawakan segumpal rindu ini kepada Rahman "
Sambil meneteskan air mata.
"Wati, tak tentu arah apakah aku harus mengikat rindu ini kepada angin? Apakah pula aku harus menulis di atas pasir putih ini kemudian ombak menyapu dan memberi tanda bahwa kita telah bersapa, sebentar malam telah jatuh tepat di pelukan bintang, di dekapan bulan yang setengah basah oleh raut senyummu, apakah kau melihat bulan yang malu-malu menatap ku itu, yang malu mendengar ocehanku kepada mu?"
Di depan istana mini wati kembali bejalan menyusuri setiap sudut ruangan yang di tinggal pejabat VOC, telah aku dengar kabar dari bung yang kau pikul peti mereka itu bahwa akan ada kabar merdeka.
"Pulang-pulanglah, datang lalu dengarkan kegaduhan rindu ku kepadamu ini", sambil menghadap, gelap dan tangan nya memanggil
"Wati, jika benar aku harus tak bernyawa di sini maka aku tak harus berkata bahwa aku mencintai mu"
"Rahman, kabar kemerdekaan telah datang, dari orang-orang yang petinya pernah kau pikul".
Penulis: Rahmat Watimena
Editor: Reny Tiarantika
Komentar
Posting Komentar